Makanan dan minuman yang halal ialah makanan/minuman yang dibolehkan untuk dimakan/diminum menurut ketentuan syari’at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal , kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mengandung mudharat atau bahaya bagi kehidupan manusia.
Haram artinya dilarang, jadi makanan/minuman yang haram adalah makanan/minuman yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan/diminum. Setiap makanan/minuman yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.Berikut hadits nya :
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ) رواه البخاري ومسلم
(
Artinya:
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dia adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim)
(
Artinya:
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dia adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim)
1. Syarah Hadits Halal, Haram dan Syubhat
Hadist ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syariat. Kata imam Abu Dawud, “Hadist ini merangkum seperempat ajaran Islam. Barang siapa yang merenungkannya, ia akan memperoleh semua kandungan yang disebutkan, karena hadist ini mengandung penjelasan tentang halal, haram, syubhat, serta apa yang baik serta merusakkan hati. Semua ini menuntut untuk mengetahui hukum syariat, baik pokok maupun cabangnya. Hadist ini juga merupakan dasar bagi sikap wara’, yaitu meninggalkan sesuatu yang syubhat (samar).” Para Ulama telah sepakat mengenai keagungan hadist ini dan banyaknya faidah yang terkandung di dalamnya.
Hadist ini mengabarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut :
Hadist ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syariat. Kata imam Abu Dawud, “Hadist ini merangkum seperempat ajaran Islam. Barang siapa yang merenungkannya, ia akan memperoleh semua kandungan yang disebutkan, karena hadist ini mengandung penjelasan tentang halal, haram, syubhat, serta apa yang baik serta merusakkan hati. Semua ini menuntut untuk mengetahui hukum syariat, baik pokok maupun cabangnya. Hadist ini juga merupakan dasar bagi sikap wara’, yaitu meninggalkan sesuatu yang syubhat (samar).” Para Ulama telah sepakat mengenai keagungan hadist ini dan banyaknya faidah yang terkandung di dalamnya.
Hadist ini mengabarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut :
a. Halal
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.
b. Haram
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram.
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram.
c. Subhat
Maksud syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya pun masih diperdebatkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syubhat ialah perkara haram. Mereka berargumen berdasarkan sabda Nabi tersebut, “……berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya……” Barang siapa yang tidak membersihkan agama dan kehormatannya, ia terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Maksud syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya pun masih diperdebatkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syubhat ialah perkara haram. Mereka berargumen berdasarkan sabda Nabi tersebut, “……berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya……” Barang siapa yang tidak membersihkan agama dan kehormatannya, ia terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perkara syubhat adalah sesuatu yang halal. Dasar mereka adalah sabda Beliau, “……sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya……” Kalimat ini menunjukan bahwa syubhat adalah sesuatu yang halal, dan meninggalkannya adalah perbuatan wara’. Ulama lain berpendapat bahwa syubhat bukanlah sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara jelas memposisikan perkara syubhat di antara yang halal dan yang haram. Hanya saja, sebagai langkah kehati-hatian, seyogyanya kita menghindari barang syubhat. Tindakan seperti ini juga bagian dari sikap wara’.
Kita harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram. Sebagaimana dikatakan, “kemaksiatan adalah kurir kekufuran” Di samping itu, memasuki area syubhat berarti menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu, karena syubhat adalah sesuatu yang belum jelas halal atau haramnya. Dalam sebuah hadist, Nabi telah memerintahkan kita untuk meninggalkan sikap ragu-ragu. Beliau bersabda yang artinya:
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (H.R. Tirmidzi).
Kita harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram. Sebagaimana dikatakan, “kemaksiatan adalah kurir kekufuran” Di samping itu, memasuki area syubhat berarti menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu, karena syubhat adalah sesuatu yang belum jelas halal atau haramnya. Dalam sebuah hadist, Nabi telah memerintahkan kita untuk meninggalkan sikap ragu-ragu. Beliau bersabda yang artinya:
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (H.R. Tirmidzi).
Rasulullah SAW adalah suri tauladan dalam hal menjauhi barang syubhat. Beliau adalah pemimpin orang-orang wara’. Hal ini dapat dilihat dari sikap yang diambil Rasulullah berkenaan dengan sebutir kurma yang jatuh ketika beliau mendapatinya di rumah beliau sendiri. Dalam menyikapi masalah ini beliau bersabda, “Kalau saja aku tidak khawatir bahwa sebutir kurma ini berasal dari barang sedekah, tentu sudah aku makan” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama membagi syubhat menjadi tiga macam:
1) Sesuatu yang diketahui manusia sebagai barang haram, namun mereka ragu apakah pengharaman itu sudah hilang (tidak berlaku) ataukah belum. Misalnya, daging binatang yang diharamkan bagi seseorang untuk dimakan sebelum disembelih, jika ia meragukan penyembelihannya. Maka, daging tersebut haram hingga dapat diyakini telah disembelih. Dasar masalah ini adalah Hadist Ady bin Hatim, disebutkan bahwa ia berkata, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku melepas anjing pemburuku dan aku ucapkan bismillah padanya. Namun, aku dapati ada anjing lain yang melakukan pemburuan juga menyertai anjing milikku. (bagaimana kami mengambil sikap?)” Beliau menjawab, ”Jangan kau makan (hasil buruan tersebut), karena engkau hanya mengucapkan basmalah pada anjing buruanmu dan tidak engkau ucapkan basmalah pada anjing yang lain!”(H.R. Bukhari dan Muslim)
2) Kebalikan dari yang pertama, yaitu bahwa sesuatu itu sebenarnya halal, lalu diragukan keharamannya. Misalnya, seseorang mempunyai istri kemudian ia ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Hal seperti ini pada dasarnya adalah mubah (halal) sampai dapat diketahui secara pasti mengenai keharamannya. Dasar masalah ini adalah hadist dari Imam Bukhari. Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa ia mengadu kepada Rasulullah tentang seseorang yang merasa seolah ada sesuatu yang telah keluar dari perutnya (kentut) ketika sedang menunaikan shalat. Lalu beliau bersabda, “Janganlah ia berpaling (menggugurkan shalatnya) sampai benar-benar mendengar suara atau mencium baunya.”
3) Seseorang merasa ragu perihal sesuatu apakah halal atau haram. Kedua kemungkinan ini sama kuatnya dan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal seperti ini sebaiknya dijauhi. Ini sebagaimana sikap yang diambil oleh Rasulullah, Abu Bakar, dan Imam Nawawi yang telah disampaikan di atas.
Usai menerangkan perkara yang syubhat ini, selanjutnya Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan.” Artinya, sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja membuat daerah larangan atau wilayah penjagaan yang berupa taman-taman atau lading tumbuh tanaman dan rerumputannya. “Dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya, segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah atas hamba-Nya adalah wilayah penjagaan-Nya. Sebab, Allah melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat mudghah (seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau sepotong daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya, jika sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.” Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat mudghah (seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau sepotong daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya, jika sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.” Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
2. Jenis-Jenis Makanan yang Diharamkan
a. Bangkai
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam:
1) Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
2) Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
3) Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
4) An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam:
1) Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
2) Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
3) Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
4) An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: “Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (No. 480): Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut). Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya” Rasulullah juga bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
“Dari Ibnu Umar berkata: “Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (No. 480): Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut). Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya” Rasulullah juga bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
b. Darah
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya: “Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145). Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih, semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya: “Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145). Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih, semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
c. Daging Babi
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
d. Sembelihan untuk Selain Allah
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
e. Hewan yang Diterkam Binatang Buas
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
f. Binatang Buas Bertaring
Hal ini berdasarkan hadits: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim No. 1933)
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah No. 476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
Hal ini berdasarkan hadits: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim No. 1933)
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah No. 476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28).
g. Burung yang Berkuku Tajam
Hal ini berdasarkan hadits: Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim No. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.
Hal ini berdasarkan hadits: Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim No. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.
h. Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)
Hal ini berdasarkan hadits yang artinya:
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori No. 4219 dan Muslim No. 1941). dalam riwayat lain disebutkan: Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah No. 2811).
Hal ini berdasarkan hadits yang artinya:
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori No. 4219 dan Muslim No. 1941). dalam riwayat lain disebutkan: Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah No. 2811).
i. Al-Jallalah
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki” (HR. Abu Daud No. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya” (HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki” (HR. Abu Daud No. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya” (HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
j. Ad-Dhab (Hewan Sejenis Biawak) Bagi yang Merasa Jijik Darinya
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari No.5536 dan Muslim No. 1943)
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari No.5536 dan Muslim No. 1943)
k. Hewan yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam.” (HR. Muslim No. 1198 dan Bukhari No. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam.” (HR. Muslim No. 1198 dan Bukhari No. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya.
l. Hewan yang Dilarang untuk Dibunuh
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan: semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad.” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan: semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad.” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
m. Binatang yang Hidup di Dua Alam
Sejauh ini belum ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
1) Kepiting hukumnya halal sebagaimana pendapat atha’ dan imam ahmad. (Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
2) Kura-kura dan penyu juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).\
3) Anjing laut juga halal sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (Lihat Al-Mughni 13/346).
4) Katak/kodok hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.
Sejauh ini belum ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
1) Kepiting hukumnya halal sebagaimana pendapat atha’ dan imam ahmad. (Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
2) Kura-kura dan penyu juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).\
3) Anjing laut juga halal sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (Lihat Al-Mughni 13/346).
4) Katak/kodok hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.
B. Hadits Amar Maaruf dan Nahyi Mungkar
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. (Riwayat Muslim)
Artinya:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. (Riwayat Muslim)
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُم (رواه الترمذى وأحمد)
Artinya: Dari Huzhaifah bin Al-Yaman dari Nabi SAW bersabda:” Demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya hendaknya engkau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau jika tidak Allah hampir mengirim azabnya, kemudian engkau berdo’a tetapi tidak dikabulkan”(HR At-Tirmidzi dan Ahmad).
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Artinya: Dari Huzhaifah bin Al-Yaman dari Nabi SAW bersabda:” Demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya hendaknya engkau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau jika tidak Allah hampir mengirim azabnya, kemudian engkau berdo’a tetapi tidak dikabulkan”(HR At-Tirmidzi dan Ahmad).
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan
2. Mengingkari dengan lisan
3. Mengingkari dengan hati
2. Mengingkari dengan lisan
3. Mengingkari dengan hati
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.”(Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya,“Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya,“Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
قال رجل لعبد الله بن مسعود -رضي الله عنه : هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر. فقال عبد الله: بل هلك من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
1. Pengertian Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Ma’ruf adalah kata benda yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan disukai Allah baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin. Maka ma’ruf mencakup aspek keyakinan, ibadah, sistem ajaran maupun akhlak. Disebut ma’ruf karena fitrah yang masih lurus dan akal yang sehat membenarkan dan menguatkan akan kebaikannya. Maka amar ma’ruf adalah da’wah untuk mengerjakan dan mewujudkannya beserta memberikan daya tarik dan menyiapkan jalan ke arah pelaksanannya dengan mengokohkan tiang-tiangnya sehingga menjadikan ma’ruf tersebut ciri khas yang melekat dalam kehidupannya.
Ma’ruf adalah kata benda yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan disukai Allah baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin. Maka ma’ruf mencakup aspek keyakinan, ibadah, sistem ajaran maupun akhlak. Disebut ma’ruf karena fitrah yang masih lurus dan akal yang sehat membenarkan dan menguatkan akan kebaikannya. Maka amar ma’ruf adalah da’wah untuk mengerjakan dan mewujudkannya beserta memberikan daya tarik dan menyiapkan jalan ke arah pelaksanannya dengan mengokohkan tiang-tiangnya sehingga menjadikan ma’ruf tersebut ciri khas yang melekat dalam kehidupannya.
Sedangkan mungkar adalah kata benda dari segala yang dibenci dan tidak disukai Allah baik perkataan maupun perbuatan. Disebut mungkar karena fitrah yang masih lurus dan akal sehat mengingkarinya dan menyatakan keburukan, bahaya dan kerusakannya. Maka nahi mungkar adalah larangan untuk melaksanakan dan mewujudkan kemungkaran tersebut disertai upaya menghalangi dan menjauhkannya serta memutuskan jalan darinya sehingga terputus dari akar kehidupan yang dilaluinya.
2. Hukum Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Hukum amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib sesuai alasan-alasan berikut:
Hukum amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib sesuai alasan-alasan berikut:
a. Perintah yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits baik perintah tersebut disebutkan secara tegas dan jelas maupun disebutkan secara substansi dan urgensinya: Allah Swt berfirman yang artinya“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imraan 104).
Sabda rasul yang artinya: Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:” Siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman” (HR Muslim). Allah Swt berfirman yang artinya “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran dan tidak merubahnya, maka Allah akan meratakan kepada mereka adzab-Nya”(HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ahmad)
Sabda rasul yang artinya: Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:” Siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman” (HR Muslim). Allah Swt berfirman yang artinya “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran dan tidak merubahnya, maka Allah akan meratakan kepada mereka adzab-Nya”(HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ahmad)
b. Karena Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir dan begitu juga risalahnya maka umat Islam diperintahkan untuk menyampaikan risalah tersebut kepada generasi berikutnya.
c. Berangkat dari konsep saling tolong menolong dan menjaga satu sama lain maka dalam konteks ini amar ma’ruf dan nahi mungkar wajib dilaksanakan sebagai upaya saling tolong menolong. Rasulullah saw bersabda: Rasulullah Saw bersanda yang artinya: “Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan menzhalimi atau terzhalimi”. Dikatakan: “Bagaimana menolongnya saat ini menzhalimi”. Rasulullah saw menjawab: “Dengan cara melarangnya dari berbuat zhalim, itu termasuk menolongnya”(Muttafaqun ‘alaihi).
3. Keutamaan Melaksanakannya
a. Selamat dari adzab Allah dan memperoleh ridha dan surga-Nya
b. Penjagaan bumi agar tidak berubah menjadi sarang kejahatan.
c. Sebagai alasan bagi orang-orang yang menentang bahwa keterangan telah sampai kepada mereka.
d. Untuk menyadarkan orang-orang yang lalai dan cambuk bagi orang yang terlena.
e. Bukti Ukhuwah Islamiyah dan ta’awun sesama muslim.
b. Penjagaan bumi agar tidak berubah menjadi sarang kejahatan.
c. Sebagai alasan bagi orang-orang yang menentang bahwa keterangan telah sampai kepada mereka.
d. Untuk menyadarkan orang-orang yang lalai dan cambuk bagi orang yang terlena.
e. Bukti Ukhuwah Islamiyah dan ta’awun sesama muslim.
4. Bahaya Meninggalkannya
a. Mendapatkan murka Allah di dunia dan di akhirat.
b. Memberi peluang bagi orang-orang malas beralasan dengan mengatakan bahwa mereka belum ada yang mengingatkan dan menyuruh berbuat baik.
c. Menghilangkan kesemapatan bagi sebagian besar manusia untuk berbuat baik dan komitmen dengan Islam. Karena pada dasarnya manusia akan sadar jika selalu diingkatkan untuk berbuat baik dan meninggalkan keburukan sesuai dengan fitrah mereka. Sehingga jika tidak ada orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, akan menjadi sebab penghalang manusia untuk mendapat petunjuk dan hilangnya kesempatan mereka untuk berbuat baik.
d. Hilangnya rasa aman pada manusia baik dirinya, anggota keluarganya mapun harta mereka.
b. Memberi peluang bagi orang-orang malas beralasan dengan mengatakan bahwa mereka belum ada yang mengingatkan dan menyuruh berbuat baik.
c. Menghilangkan kesemapatan bagi sebagian besar manusia untuk berbuat baik dan komitmen dengan Islam. Karena pada dasarnya manusia akan sadar jika selalu diingkatkan untuk berbuat baik dan meninggalkan keburukan sesuai dengan fitrah mereka. Sehingga jika tidak ada orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, akan menjadi sebab penghalang manusia untuk mendapat petunjuk dan hilangnya kesempatan mereka untuk berbuat baik.
d. Hilangnya rasa aman pada manusia baik dirinya, anggota keluarganya mapun harta mereka.
5. Adab-Adab Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Agar amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang efektif maka fihak yang akan melaksanakan amar maruf dan nahi mungkar harus memperhatikan adab-adabnya:
a. Menguasai berbagai disiplin ilmu Islam, yaitu seorang yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar harus mengetahui ilmu-ilmu yang terkait dengannya seperti ilmu tentang ruang lingkup ma’ruf dan mungkar, realita masyarakat dan dampaknya jika dilakukan. Ia juga harus mengetahui tentang kondisi sosiologis manusia yang menjadi obyeknya.
b. Bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia, sehingga jangan sampai ia menyuruh sesuatu yang ia tidak kerjakan atau sebaliknya melarang sesuatu yang justru masih ia kerjakan. Allah swt berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
c. Dilakukan dengan lembut dan bijaksana sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an yang artinya:”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”(An-Nahl 125).
d. Sabar dan tahan uji, karena memang amar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan kesabaran dan tahan uji jika tidak maka mungkin akan berhenti melakukannya.
e. Ikhlas, yaitu dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar harus dilandasi niat yang ikhlas bukan untuk mencari popularitas atau untuk menjatuhkan obyeknya.
f. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar jangan sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
g. Obyek yang menjadi amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah sesuatu yang telah disepakati ma’rufnya atau mungkarnya.
Agar amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang efektif maka fihak yang akan melaksanakan amar maruf dan nahi mungkar harus memperhatikan adab-adabnya:
a. Menguasai berbagai disiplin ilmu Islam, yaitu seorang yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar harus mengetahui ilmu-ilmu yang terkait dengannya seperti ilmu tentang ruang lingkup ma’ruf dan mungkar, realita masyarakat dan dampaknya jika dilakukan. Ia juga harus mengetahui tentang kondisi sosiologis manusia yang menjadi obyeknya.
b. Bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia, sehingga jangan sampai ia menyuruh sesuatu yang ia tidak kerjakan atau sebaliknya melarang sesuatu yang justru masih ia kerjakan. Allah swt berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
c. Dilakukan dengan lembut dan bijaksana sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an yang artinya:”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”(An-Nahl 125).
d. Sabar dan tahan uji, karena memang amar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan kesabaran dan tahan uji jika tidak maka mungkin akan berhenti melakukannya.
e. Ikhlas, yaitu dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar harus dilandasi niat yang ikhlas bukan untuk mencari popularitas atau untuk menjatuhkan obyeknya.
f. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar jangan sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
g. Obyek yang menjadi amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah sesuatu yang telah disepakati ma’rufnya atau mungkarnya.
KESIMPULAN
Sesuatu yang halal haram dan syubhat sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Secara garis besar perinciaanya adalah:
1. Halal.
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.
2. Haram
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram.
Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar